TULISAN BERJALAN

Aku akan menjadi kuat dengan caraku sendiri,bukan dari orang lain

Selasa, 07 Maret 2017

Informasi Tokoh Soeman HS



SEOMAN HS
Soeman Hasibuan (EYD: Suman Hasibuan; 1904 – 8 Mei 1999), yang lebih dikenal dengan nama pena-nya Soeman Hs, adalah seorang pengarang Indonesia yang diakui karena mempelopori penulisan cerita pendek dan fiksi detektif dalam sastra negara tersebut. Lahir di Bengkalis, Riau, Hindia Belanda, dari keluarga petani, Soeman belajar untuk menjadi guru dan, di bawah bimbingan pengarang Mohammad Kasim, seorang penulis. Ia mulai bekerja sebagai guru bahasa Melayu setelah menyelesaikan sekolah normal pada 1923, mula-mula di Siak Sri Indrapura, Aceh, kemudian di Pasir Pengaraian, Rokan Hulu, Riau. Pada waktu itu, ia mulai menulis, menerbitkan novel pertamanya, Kasih Tak Terlarai, pada 1929. Selama dua belas tahun, ia menerbitkan lima novel, satu kumpulan cerita pendek, dan tiga puluh lima cerita pendek dan puisi.
Pada masa pendudukan Jepang di Hindia Belanda (1942–1945) dan kemudian revolusi, Soeman—meskipun ia tetap seorang guru—menjadi aktif dalam politik, mula-mula menjabat pada dewan perwakilan dan kemudian sebagai bagian dari Komite Nasional Indonesia untuk Pasir Pengaraian di Pekanbaru. Setelah pengakuan Belanda terhadap kemerdekaan Indonesia pada 1949, Soeman menjadi kepala departemen pendidikan regional, bekerja untuk membangun kembali infrastruktur yang rusah dan mendirikan sekolah-sekolah baru, termasuk SMA pertama di Riau dan Universitas Islam Riau. Ia masih aktif dalam pendidikan sampai kematiannya.
Sebagai seorang pengarang, Soeman menulis cerita-cerita yang bertemakan suspens dan humor, menggambarkan fiksi detektif dan petualangan Barat serta sastra Melayu klasik. Karya tulis berbahasa Melayu buatannya, dengan pengucapan yang sangat dipengaruhi oleh latar belakang Sumatra timur-nya, mudah dibaca dan terhindar dari hal yang bertele-tele secara berlebihan. Karya paling populer Soeman adalah novel Mentjahari Pentjoeri Anak Perawan (1932), sementara kumpulan cerita pendek Kawan Bergeloet (1941) dianggap karyanya yang paling terkenal dari sudut pandang sastra.[3] Meskipun dianggap pengarang kecil dari periode Poedjangga Baroe, Soeman telah mendapat pengakuan dengan adanya sebuah perpustakaan yang menggunakan namanya dan buku-buku buatannya diajarkan di sekolah-sekolah.
Daftar isi
Kehidupan awal
Soeman lahir di Bengkalis, Riau, Hindia Belanda, pada 1904.[a] Ayahnya, Wahid Hasibuan, dan ibunya, Turumun Lubis, lahir di Kotanopan (yang sekarang merupakan bagian dari Mandailing Natal), namun berpindah ke Bengkalis setelah pernikahan untuk menghindari konflik antara keluarga Hasibuan dan sebuah klan rival. Dalam sebuah wawancara 1989, Soeman menyatakan bahwa ia tidak tahu menahu sumber konflik tersebut, namun ia menduga bahwa ayahnya, yang merupakan keturunan dari seorang raja Mandailing, merasa seolah-olah kurang dihormati.[4]
Di Bengkalis, Wahid dan Turumun menanam nanas dan kelapa. Wahid juga mengajarkan ngaji, yang membuatnya meraih pemasukan dari keluarga Muslim.[5] Karena ayahnya mengajar di rumahnya, Soeman mulai belajar ngaji pada usia muda. Selain itu, ia juga mendengar cerita-cerita kejahatan yang terjadi di kota-kota besar seperti Singapura dari para pedagang yang mengunjungi Wahid. Pada 1913, Soeman masuk sebuah sekolah Melayu lokal, dimana guru-gurunya mendorongnya untuk membaca. Soemana membaca sejumlah buku karya pengarang Melayu dan Eropa dari perpustakaan sekolah sebelum ia lulus pada 1918.[b][6]
Bercita-cita menjadi guru, Soeman berupaya masuk kursus untuk menjadi guru potensial di Medan, Sumatra Utara, setelah lulus. Setelah ia masuk kursus, ia menjalani dua tahun belajar di kota tersebut. Salah satu gurunya adalah Mohammad Kasim, yang kemudian kumpulan cerita pendek buatannya Teman Doedoek (1937) menjadi karya pertama dalam kanon sastra Indonesia.[7] Di luar kelas, Soeman menyimak cerita-cerita Kasim tentang para pengarang dan proses penulisan kreatif; hal tersebut membuatnya ingin menjadi penulis.[8] Setelah dua tahun di Medan, Soeman melanjutkan pendidikan ke sebuah sekolah normal di Langsa, Aceh, dimana ia singgah selama 1923. Di sana, ia bertemu dengan calon istrinya, Siti Hasnah.[7]
Setelah lulus, Soeman menemukan pekerjaan di HIS Siak Sri Indrapura, sebuah sekolah berbahasa Belanda untuk murid-murid pribumi di Siak Sri Indrapura, Aceh.[9] Soeman bekerja sebagai guru bahasa Melayu di sana selama tujuh tahun,[10] sampai 1930, ketika ia bertemu dengan seorang guru muda dari Jawa yang terlibat dalam gerakan nasionalis. Soeman dan beberapa guru mulai bergabung dengannya untuk diskusi dan memainkan lagu "Indonesia Raya", yang berada di bawah pencekalan dari pemerintah kolonial Belanda. Saat ketahuan, Soeman dipindahkan ke Pasir Pengaraian, Rokan Hulu, Riau. Meskipun menolak pindah, Soeman masih berada di Pasir Pengaraian sampai pendudukan Jepang di Hindia Belanda pada 1942, kemudian menjadi kepala sekolah.[11]
Karier menulis
Soeman mulai menulis pada 1923 tak lama setelah menyelesaikan pendidikannya.[12] Terinspirasi oleh ayahnya, yang berhenti menggunakan nama klan Hasibuan di Bengkalis yang didominasi Melayu, ia memakai nama pena Soeman Hs.[13] Ia menyerahkan novel pertamanya, Kasih Tak Terlarai, kepada penerbit negeri Balai Pustaka. Buku tersebut, yang berkisah tentang seorang yatim piatu yang kawin lari dengan kekasihnya namun harus menikahinya kembali setelah kekasihnya kembali ke rumah, diterbitkan pada 1929.[14] Soeman meraih uang sejumlah 37 gulden dari penerbitan tersebut.[15]
https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/a/a0/Pertjobaan_Setia_%282nd_edition%29%2C_cover.jpg/220px-Pertjobaan_Setia_%282nd_edition%29%2C_cover.jpg
Pertjobaan Setia (edisi 1955)
Karya tersebut disusul oleh Pertjobaan Setia pada 1931, sebuah novel tentang seorang pria muda yang bernama Sjamsoeddin yang ingin naik haji sebelum ia dapat menikahi Hajjah Salwiah, seorang putri pedagang kaya. Ketika Sjamsoeddin pulang dari perjalanannya, ia terkena sebuah bencana dan ditipu oleh seorang pria yang menginginkan Salwiah. Namun, teman Sjamsoeddin yang bernzma Djamin menolongnya dan membuat Sjamsoeddin dan Salwiah menikah.[16] Pada tahun berikutnya, dua terjemahan novel Soeman diterbitkan oleh Balai Pustaka; Kasih Tak Terlarai diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dengan judul Asih tan Kena Pisah oleh Soehardja, sementara Pertjobaan Setia diterjemahkan ke dalam bahasa Sunda dengan judul Tjotjoba oleh Martaperdana.[17]
Soeman menerbitkan novel lainnya, Mentjahari Pentjoeri Anak Perawan, pada 1932. Novel tersebut mengisahkan tentang Sir Joon, seorang pria yang lamarannya dengan Nona ditolak setelah ayah Nona, Gadi, ditawari mahar yang lebih tinggi. Ketika menyadari bahwa Nona telah diculik, Joon menawarkan bantuannya untuk membantu mencarinya. Ia membangun ketidakpercayaan antara Gadi dan calon suami Nona, dan lamarannya juga ditolak. Setelah itu, Joon meninggalkan desa bersama dengan nona, ketika ia mengambilnya dari rumah, dan pasangan tersebut hidup bahagia di Singapura.[18] Untuk novel tersebut, yang lagi-lagi diterbitkan oleh Balai Pustaka, Soeman meraih 75 gulden.[19] Pada dekade-dekade berikutnya, karya tersebut menjadi publikasi paling populer buatannya,[20] dan karya tersebut diidentifikasi sebagai novel detektif pertama dalam kanon sastra Indonesia.[1]
Antara 1932 dan 1938, Soeman menerbitkan dua novel berikutnya, Kasih Tersesat (diserialisasikan dalam Pandji Poestaka pada 1932) dan Teboesan Darah (diterbitkan dalam Doenia Pengalaman pada 1939).[21] Novel Teboesan Darah menandai kembalinya Sir Joon, yang muncul dalam beberapa cerita detektif lainnya karya pengarang lainnya.[22] Soeman juga menerbitkan tiga puluh lima cerita pendek dan puisi, yang sebagian besar terdapat di majalah Pandji Poestaka namun juga di Pedoman Masjarakat dan Poedjangga Baroe.[23] Tujuh cerita Pandji Poestaka karya Soeman dikompilasikan dalam Kawan Bergeloet, bersama dengan lima cerita asli.[24] Dengan kumpulan cerita pendek tersebut, yang diterbitkan pada 1941, Soeman menjadi salah satu penulis cerita pendek pertama dalam kanon sastra Indonesia.[25]
Penjajahan Jepang dan Revolusi Nasional Indonesia
Setelah Jepang menjajah Hindia Belanda pada 1942, Soeman diangkat menjadi kepala sekolah oleh pasukan penjajah. Ia kemudian terlibat dalam politik dengan terpilih pada Shūsangikai, sebuah dewan perwakilan regional yang disponsori Jepang, untuk Riau. Ia kemudian menyatakan bahwa, karena ia terpilih ketimbang dipilih oleh pasukan Jepang—dan memiliki bekingan kuat dalam masyarakat, yang berguna untuk revolusi—ia merasa berada di bawah pengawasan ketat.[26] Keadaan tersebut berlanjut sampai Jepang mundur dari Indonesia dan Sukarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.[27]
Meskipun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dibuat pada 17 Agustus 1945, beritanya tidak mencapai Riau sampai bulan September. Pada bulan berikutnya, Soeman terpilih pada Komite Nasiona Indonesia untuk Pasir Pengaraian yang baru dibentuk, dan kemudian menjadi ketuanya. Pada masa jabatannya, ia menghadapi perselisihan antara bekas staf kolonial yang lebih menginginkan Belanda kembali dan orang-orang yang mendukung kemerdekaan Indonesia; pasukan Belanda kembali ke Jawa, dan konflik fisik terjadi antara pasukan Sekutu dan pasukan republik Indonesia di Surabaya. Pada tahun berikutnya, Soeman terpilih pada Dewan Perwakilan Regional untuk Riau, yang berbasis di Pekanbaru.[28]
Setelah Operasi Kraai pada 1948, ketika pasukan Belanda menduduki ibukota republik di Yogyakarta dan menangkap sebagian besar anggota pemerintahan Sukarno, Soeman menjadi komandan pasukan gerilya di Riau. Di samping melanjutkan perjuangan, ia ditugaskan untuk menjadi para pejuang baru untuk mendukung sebaba-sebab republik. Dalam misi tersebut, ia ikut membantu dengan jaringan ekstensifnya sebagai guru sekolah jangka panjang, dan beberapa pejuang Soeman adalah mantan muridnya sendiri. Meskipun para pasukannya berada di bawah senjata, Soeman memimpin mereka dalam pertarungan melawan pasukan pribumi yang bersekutu dengan Belanda selama beberapa kali.[29]
Pengajar dan kehidupan selanjutnya
Setelah Konferensi Meja Bundar pada 1949, Soeman dipanggil ke Pekanbaru dan diangkat menjadi kepala cabang regional dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Tugas utamanya adalah mebdirikan kembali dan menyusun kembali sistem pendidikan di Riau setelah tiga tahun pendudukan dan empat tahun revolusi. Laci-laci digunakan untuk kayu bakar, bangunan-bangunan sekolah digunakan sebagai tempat untuk berlindung dari pasukan musuh, dan sebagian besar penduduk tidak dapat menghadiri kelas secara giat. Selain itu, departemen tersebut tidak memiliki dana yang cukup untuk mendukung pembangunan kembali. Pada tiga tahun berikutnya, Soeman memimpin proyek-proyek kerja komunal yang didedikasikan untuk memulihkan fasilitas pendidikan Riau dan meraih bantuan sukarela dari masyarakat.[30]
Peristiwa tersebut disusul oleh periode pembangunan infrastruktur pendidikan lanjutan. Untuk membantu para guru SD melanjutkan pendidikan mereka, Soeman mengambil gambar dalam pendirian sebuah SMP swasta pada 1953.[c] Pada tahun berikutnya, ia membantu pendirian SMA Setia Dharma, SMA pertama di Riau. Menteri Pendidikan Mohammad Yamin menghadiri acara pembukaannya, dimana Soeman membandingkan situasi di Riau dengan Aceh dan Sumatra Utara dan menyatakan bahwa orang-orang di Riau seolah-olah dianaktirikan. Ia meminta Yamin untuk mengirimkan guru-guru pemerintah untuk mendukung Setia Dharma. Meskipun Yamin keberatan dengan permintaan Soeman dan tidak mengirimkan satu pun guru ke Setia Dharma, ia memerintahkan sebuah SMA negeri dibuka di Riau.[31]
Soeman melanjutkan bekerja untuk mendirikan sekolah-sekolah baru di Riau. Pada akhir 1950an, melihat berkembangnya sekolah-sekolah dari organisasi Kristen, Soeman, dengan bekerja dengan Muslim lainnya di Riau, mulai mendirikan sekolah-sekolah Islam pada tingkat TK, SD, SDMP, dan SMA. Pada 1961, Gubernur Riau Kaharuddin Nasution mengundang Soeman dan mengajaknya untuk bergabung dengan Badan Pemerintah Harian[d] dari pemerintah provinsi.[e] Ia dan Yayasan Pendidikan Islam bekerja dengan pemerintah untuk mendirikan Universitas Islam Riau.[32] Soeman menghadiri acara pembukaan formal-nya 1962.[33]
Meskipun ia secara resmi pensiun sebagai guru untuk bergabung dengan Badan Pemerintah Harian, dari 1960an Soeman terlibat dalam beberapa yayasan pendidikan. Ia menjabat sebagai direktur jenderal Yayasan Lembaga Pendidikan Islam serta ketua badan kepengurusan Setia Dharma, Yayasan Pendidikan Riau, dan Lembaga Sosial Budaya Riau. Ia juga mengutamakan hubungan dengan pemerintah provinsi; pada 1966, ia secara resmi menjadi bagian dari Dewan Perwakilan Regional, dan pada 1976, atas rekomendasi Gubernur Arifin Achmad, ia naik haji menggunakan kas negara.[f][34]
Soeman meninggal di Pekanbaru pada 8 Mei 1999. Ia masih aktif dalam berbagai aspek pendidikan di Riau sampai tahun sebelumnya. [25]
Gaya dan proses kreatif
Sebuah cerita pendek tentang Soeman, buatan Yayasan Lontar
Soeman mengkredit kisah-kisah petualangan Alexandre Dumas dan pengarang-pengarang serupa, yang ia baca dalam terjemahan, untuk memahami genre petualangan dan detektif. Soeman memahami penggunaan suspens pada cerita-cerita tersebut, yang diset dalam karya-karya yang biasanya mempengaruhi para pengarang Melayu seperti Marah Rusli.[35] Menurut kritikus kebudayaan Sutan Takdir Alisjahbana, Soeman, dalam pembangunan suspensnya, memimikkan kisah-kisah detektif Barat ketimbang mengadaptasi gaya penyetingan Timur.[36] Namun, pengaruh-pengaruh tradisional tampak dalam karya-karya Soeman. Ia mengkredit unsur-unsur komedi dari cerita-cerita pendeknya untuk aspek-aspek humor pada sastra cerita rakyat Melayu seperti kisah "Lebai Malang".[35]
Penyair Eka Budianta menyatakan bahwa teman umum dalam karya-karya Soeman adalah memperkuat cinta dan kemampuannya untuk mengatasi masalah.[37] Soeman menulis kekuatan cinta dan pernikahan atas dasar cinta dalam menanggapi perlakuan wanita dalam budaya adat (tradisional). Di kalangan Melayu Riau, pernikahan perjodohan adalah hal umum, dan wanita terkadang dinikahkan dengan seorang pria yang lebih tua dari ayahnya. Sebelum pernikahan, wanita muda tidak boleh ke luar dan tidak diperkenankan berinteraksi dengan pria manapun kecuali orang-orang yang dipilih suaminya.[38] Selain itu, Soeman menggunakan Kasih Tak Terlarai untuk mengkritik kesalahan asuh anak yatim piatu setelah diadopsi.[38]
Beberapa karakter buatan Soeman tidak teridentifikasi sebagai Pribumi-Nusantara, yang meliputi Nona (nama umum di kalangan etnis Tionghoa) dan Sir Joon (orang Eurasia). Hal tersebut merupakan bagian dari sebuah penawaran untuk menghibur para pembaca dari latar belakang kebudayaan yang berbeda, serta orang-orang yang tinggal di Singapura.[39] Hal tersebut juga menyajikan kritikan lembut bagi Soeman. Dalam sebuah wawancara, Soeman berkata: "Roman saya selalu mendobrak adat yang kaku. Nah, untuk menggambarkan itu, sengaja saya pilih tokoh orang asing, yang lebih diterima jika memberontak adat. Itu hanya strategi kepengarangan, biar cerita kita diterima."[40]
Diksi Soeman dalam cerita-cerita pendek buatannya sangat dipengaruhi oleh latar belakang Sumatra timur-nya, dengan pengucapan Melayu dan pengaruh Jawa yang lebih sedikit ketimbang beberapa penulis kontemporer.[41] Namun, seperti halnya para penulis sejawatnya dari generasi Poedjangga Baroe, ia tetap menggunakan istilah Melayu klasik seperti alkisah dan maka. Ia dikritik karena menggunakan kalimat yang bertele-tele ketimbang sastra sebelumnya, bukannya berupaya untuk menggunakan gaya yang lebih ringkas dan langsung dan menghindari kiasan.[42] Dalam sebuah artikel 1936, Alisjahbana berkata bahwa, di tangan Soeman, "bahasa Melayu yang telah kaku dan beku dikarenakan susunan tetap dan aturannya, menjadi cair kembali".[g][43]
Warisan
https://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/thumb/b/b2/Soeman_HS_Library%2C_Pekanbaru%2C_Indonesia.jpg/220px-Soeman_HS_Library%2C_Pekanbaru%2C_Indonesia.jpg
Karya-karya Soeman seringkali digunakan untuk mengajarkan sastra untuk murid-murid SMP dan SMA, utamanya di Riau, dimana pada 1970an, karya-karya tersebut didistribusikan oleh pemerintah provinsi.[44] Salah satu cerita pendek Soeman, "Papan Reklame", masuk dalam sebuah bacaan terbitan Cornell University Press untuk murid-murid asal Indonesia,[45] dan HB Jassin memasukkan salah satu puisi Soeman, "Iman", dalam antologi Pudjangga Baroe (1963).[46] Pada 1993, Mentjahari Pentjoeri Anak Perawan diadaptasi ke dalam sebuah serial televisi buatan August Melasz.[47]
Sampai akhir hayat Soeman, buku-bukunya hanya sedikit diterbitkan ulang dan dibicarakan,[48] dan sebuah profil 2014 buatan Pusat Tanjungpinang untuk Penyajian Nilai-Nilai Kebudayaan menyebut Soeman sebagai seorang pengajar dan penulis yang terlupakan.[2] Namun, karya-karya Soeman masih diantologikan, dan pada 2008, Perpustakaan Soeman HS di Pekanbaru dinamakan dengan namanya. Rancangannya mengingatkan pada alas baca al-Qur'an dan merefleksikan budaya Islam Melayu, perpustakaan berdinding kaca dan enam lantai tersebut dioperasikan olen pemerintah Riau.[49] Pada 2010, Yayasan Sagang secara anumerta menganugerahkan Soeman dengan Penghargaan Sagang Kencana untuk jasa-jasanya dalam menyajikan budaya Melayu.[50]
Pengakuan
Soeman telah dikategorikan sebagai pengarang kecil dari periode Poedjangga Baroe. Sarjana sastra Indonesia asal Belanda A. Teeuw menyatakan bahwa, meskipun puisi Soeman umumnya berbentuk konvensional,[51] cerita-cerita detektifnya "tidak bersahaja namun enak dibaca". Namun, ia menganggap kumpulan cerita pendek Soeman, Kawan Bergeloet, karya buatannya paling terkenal dalam bidang sastra, memiliki sketsa "sangat terobservasi dan tergambar secara realistis".[3] Sementara itu, Alisjahbana memuji penggunaan inovatif Melayu Soeman namun menganggap alur cerita pengarang tersebut tidak konsenkuensial dan tidak logis, dengan akting naratif "seperti anak-anak yang mengkilatkan permainannya dengan sekejap mata, namun juga langsung menyembunyikannya untuk membangkitkan rasa penasaran pada temannya".[h] Ia menganggap karya Soeman baik untuk dibaca karena nilai hiburannya.[52]
Dalam sebuah film yang menyoroti Soeman yang dibuat oleh Yayasan Lontar, Budianta menyatakan bahwa:
Karya-karyanya boleh dikata sedikit. Karya-karyanya boleh dikata kurang disukai, tidak terlalu monumental, tetapi kehadiran Soeman Hs sebagai penulis cerita humor dan penulis cerita detektif, itu tidak bisa diabaikan. Kalau kita mau bercerita tentang pelopor penulis humor atau pelopor cerita detektif, Soeman Hs itu bapaknya. Dia bisa dianggap bapak cerita humor dan detektif.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar